Oleh : Handoko Wibowo
Kami, para petani di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, telah berjuang selama 15 tahun dengan segala keterbatasan. Jika dibandingkan dengan kaum buruh yang masih memiliki upah bulanan, banyak yang punya motor, bahkan ada buruh yang bisa punya Blackberry (walau dikredit), para petani untuk makan saja susah. Iuran hanya Rp2.000/bulan, dimana pembayarannya sering macet. Banyak petani yang buta huruf. Kalaupun anak-anak mereka ada yang tamatan SMA, kebanyakan malah merantau untuk kerja di kota ini (Bekasi).
Begitu gampangnya kawan-kawan buruh bisa ke sana (Batang). Saya lihat ada kerinduan besar setelahnya, agar kita bertemu lagi. Di Batang ada konflik tanah yang tidak pernah selesai. Kami memperjuangkan tanah ke kabupaten, ke Semarang hingga ke Jakarta. Anda tutup tol selama dua hari, tuntutan kenaikan upah bisa langsung dipenuhi.
Yang tidak saya mengerti, buruh ini kadang pecah belah dalam berorganisasi, padahal sama-sama miskinnya. Berbeda dengan serikat tani, yang bukan hanya ada di Batang, tetapi juga di Pasundan, Ciamis, itu rukun-rukun saja. Dan rata-rata, konflik tanah memakan waktu belasan tahun. Buruh bersatu, dua atau tiga hari melakukan demonstrasi, tuntutan bisa terpenuhi. Itu pun, masih banyak penitip nasib.
Namun, ternyata, upah masih belum naik, atau kenaikan upah hanya 100 atau 200 ribu, tukang ojek sudah menaikkan ongkos duluan, tukang sayur menaikkan jualannya lagi. Pada saat upah kalian naik, ternyata harga-harga juga naik. Kami (petani) pun sama, saat kami mendapatkan tanah, tapi pupuk juga mahal. Ternyata, kita tetap miskin.
Kita tentu tidak mau miskin terus-terusan.
Kami Tidak Mau Miskin
Maka, kami di Batang bertekad harus berubah. Timbul militansi karena melihat anggaran pemerintah. APBD Batang ada Rp900 Miliar. Anggaran untuk petani tidak sampai 500 juta rupiah, yakni pembangunan saluran air. Dan pupuk sering hilang dari pasar. Padahal pupuk itu disubsidi oleh pemerintah. Harganya sekitar Rp2.000. Pupuk tidak sampai ke petani. Petani terpaksa bayar mahal untuk itu.
Padi sudah terlanjur ditanam. Padi akan mati jika tidak dipupuk. Petani terpaksa beli pupuk walaupun mahal, sementara ketika dijual, harga jatuh sangat murah.
Tahun 2007, kami pun memutuskan. Kami sepakat untuk memenangkan kepala desa dalam Pilkades. Kami mulai merencanakannya. Pokoknya, di semua desa, dimana kami ada, kami ikut pemilihan kepala desa. Dengan sukarela kami urunan. Ibu-ibu petani datang membawa gula setengah kilo, Bapak-bapak membawa rokok yang dikumpulkan di dalam toples. Apa saja yang bisa kami sumbangkan, kami kumpulkan. Semua itu untuk tamu-tamu non organisasi yang berkunjung ke calon kepala desa yang kami kami usung. Bagi anggota organisasi, sudah maklum, jika tidak menikmati hidangan.
Tanpa money politic, kami berhasil. Dari 15 pemilihan yang kami ikuti, kami berhasil menang di sembilan desa. Begitu berhasil, satu bulan kemudian kepala-kepala desa itu mengkhianati kami.
Kami tidak kapok atau putus asa. Bagi kami, kalau kami gagal tahun ini, kami akan coba tahun depan lagi. Mungkin 30 lurah yang akan kami perjuangkan untuk menang dengan cara tidak money politic.
Setelah itu, kami mencoba masuk DPRD. Walaupun kenyatannya kami tahu massa banyak yang apatis bahwa menjadi anggota DPRD itu sama dengan korup. Kami mencoba memasukkan anggota DPRD dari kami, satu orang saja, namanya Gotama Bramanti. Kami memilih orang ini dan mengawal dia. Pada waktu itu, kami membuat perjanjian dengan PDIP bahwa kami akan memberikan suara ke partai itu pada Pemilu 2009 dengan catatan PDIP tidak boleh me-recall Bram. Kami berhasil memenangkan Bram.
Dengan jabatannya sebagai anggota DPRD, Bram membantu gerakan Omah Tani. Untuk menjangkau orang-orang yang bukan petani, kami membangun Omah Rakyat yang kantornya di rumah Bram. Jika ada pasien miskin yang ditolak rumah sakit, Bram yang mengenakan baju DPRD-nya mendatangi rumah sakit itu. Pernah Bram memaksa rumah sakit untuk menangani pasien yang akan melahirkan dengan operasi cesar. Bram sampai harus menggebrak meja rumah sakit hingga petani itu diterima sebagai pasien. Maka selamatlah petani itu.
Khan lucu, Indonesia yang merdeka sudah 67 tahun, tapi masih ada orang yang mati melahirkan, miskin pula. Karena miskin dia mati. Banyak sekali kejadian itu di Batang. Dan, kami berusaha memperjuangkan pelayanan kepentingan publik, bukan hanya kepentingan petani.
Sebagai warga negara Indonesia, anda butuh KTP KK (Kartu Keluarga), dan jika anda butuh biaya jika tidak ter-cover oleh perusahaan. Sebagai buruh, jika Anda sudah mulai tua, anda akan merasakan semakin susah. Mestinya organisasi anda, atau rumah buruh tidak hanya mengurusi masalah upah, tapi juga masalah publik. Dan bukan hanya buruh, ada tukang becak, tukang ojek dan lainnya yang harus anda tolong. Jadi, bukan hanya buruh yang bisa menikmati perjuangan anda, tapi juga mereka. Dan kalau anda menutup tol, mereka akan mengerti bahwa anda sedang berjuang. Yang kita lawan adalah apatisme dan pengkotak-kotakkan dimana para buruh ini dikotakkan hanya sebagai buruh, petani hanya petani, dll.
Politik Adalah Jalan Keluar Kita
Buruh pun butuh agar anaknya bisa sekolah, juga butuh agar kesehatan orang tuanya bisa ter-cover. Di sini saya bicara untuk buruh-buruh yang masih kekurangan yang jumlah ada banyak sekali, bukan buruh-buruh yang sudah ter-cover semuanya. Seharusnya tugas pemerintah yang harus memenuhi kebutuhan buruh yang masih kurang, karena memang itu sudah menjadi tugas pemerintah.
Bekasi memiliki APBD sebesar Rp 2 Triliun. Buka lah bagian pemasukan dari industri, itu sangat besar. Tapi, apa yang anda lihat juga adalah tidak ada dana sedikit pun untuk buruh. Mestinya ada dana peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia, misalnya seperti pelatihan bahasa, teknik, dll. Begitu anda di-PHK, anda bisa kerja yang lainnya.
Persoalannya, tidak ada orang kita yang duduk di dewan atau pemerintahan itu sehingga kita selalu ditindas oleh sistem yang kapitalistik.
Kami di Batang tidak mau menderita. Tahun ini, kami bereksperimen lagi dengan ikut pemilihan Bupati. Calon yang mengajukan diri ke kami mantan tentara (BIN). Menyeramkan. Tapi ternyata, orang ini tidak mau berkumpul dengan kami. Dan ternyata, bapaknya masih nyangkul. Dia memang kaya, tapi tidak terlalu kaya. Kami pun membuat kontrak politik karena dia mau dididik di organisasi kami. Lalu, ribuan orang menjadi tim suksesnya. Setelah terpilih, rumah dinas dan mobil dinas tidak dipakai. Dia berjalan kaki 45 km dari kabupaten ke kampung untuk memberitahu ibunya kalau dia berhasil jadi bupati. sekarang ke mana-mana dia pakai sepeda ontel.
Di sering ke sekolah pagi-pagi jam 7, guru belum ada. Dia yang membuka pintu pagar dan mengajar anak-anak. Dia pun bertanya ke anak-anak, “siapa yang suka terlambat?”. Anak-anak menjawab, “Bu Guru…” Guru yang terlambat datang minta maaf kepada bapak Bupati. Alasannya, Ibu guru itu harus mengurus anak-anak dulu di rumah sebelum berangkat.
Kami terus mengawal dengan ketat bupati kami.
Nanti, Satu Mei, kami akan mengadakan may day pertama kali diman ribuan petani bersama Serikat Pekerja Nasional (SPN) merayakan mayday. Nanti Bupati akan pidato tentang upah minimum yang layak. Jika ada kawan-kawan yang bisa ke sana, saya minta diajari bagaimana perjuangan buruh yang benar itu.
Kami akan konvoi ke Pekalongan yang buruh-buruhnya lebih banyak. Saya terima kasih kepada Anda semua, kepada Bung Danial, kepada Bung Surya Tjandra. Jadi, saya belajar dengan anda semua. Anda semua juga luar biasa daya serapnya dalam mempelajari perjuangan kami di Batang.
Di negeri kita tidak ada keadilan. Orang kecil itu kalau salah langsung masuk penjara. Hukum itu tajam kalau ke bawah, seperti pisau. Hukum menjadi tumpul kalau ke atas. Dalam berjuang di masa sekarang, kita tidak harus setor nyawa, setor telinga, tidak seperti pejuang di jaman dulu. Kita hanya butuh semangat yang harus dimulai dari organisasi. Makanya, dalam pendidikan ekopol, anda harus hadir; dalam pendidikan apapun di organisasi, anda harus hadir. Dan jangan pimpinan-pimpinan kita digunjingi di belakang, itu tidak baik. Jangan suka marah sama kawan sendiri.
Kita sedang berjuang demi masa depan anak-anak kita. Kita saling belajar. Buruh belajar pada petani, petani belajar pada buruh.
Perjuangan kita jangan sampai ada korban. Tahun 2014 nanti masuk lah ke parlemen. Partai-partai yang ada sekarang kader-kadernya memang dididik, tapi dididik untuk nyolong. Perwakilan kita bisa masuk asalkan dengan mandat organisasi. Anda harus mengikuti dan memperjuangkan mandat itu. Kawan-kawan yang duduk di DPR itu bisa menganggarkan anggaran untuk buruh dan bisa membuka pintu bagi kawan-kawan lainnya di Pemilu yang akan datang. Intinya, kalau organisasi sudah kuat, bereksperimen lah maju ke politik.
Kami juga akan berusaha lagi untuk masuk minimal 4 kursi pada Pemilu 2014 nanti. Kami akan mendidik calon-calon kami agar berjuang bukan hanya untuk petani, tetapi juga untuk buruh. Dan, walaupun mereka nantinya berhasil menduduki kursi sebagai anggota dewan, mereka harus tetap nyangkul cari rumput, bukan malah menjadi priyayi baru—itu tidak kita sukai.
Kalau kita serius, semua konfederasi bersatu untuk kompak mengusung tokoh-tokohnya: pasti kita akan berhasil.
Pidato Pimpinan Omah Tani Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Handoko Wibowo, pada 23 April 2012 di Rumah Buruh Bekasi Bergerak, dituliskan kembali oleh Sherr Rinn.
Sumber : SPAI FSPMI